RI Belum Penuhi Standar Anti Trafficking AS

Indonesia telah mencapai kemajuan dalam membuat aturan dan perangkat hukum untuk mencegah perdagangan manusia (human trafficking) ke luar negeri. Namun, penerapan peraturan anti perdagangan manusia masih lemah sehingga belum bisa mengatasi kasus itu secara signifikan.

Demikian menurut sejumlah pejabat dan pengamat Indonesia dan Amerika Serikat (AS) dalam suatu diskusi panel membahas perdagangan manusia di Jakarta, Senin 29 Juni 2009.

Melalui tayangan telekonfrensi dari Washington DC, pejabat senior Departemen Luar Negeri AS bidang anti perdagangan manusia, Luis CdeBaca, mengungkapkan bahwa Indonesia masih masuk katagori "Tier-2" dalam Laporan Tahunan Trafficking-in-Persons (Perdagangan Manusia) yang dirilis oleh Deplu AS pekan lalu.

"Pada katagori itu, Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan perdagangan manusia. Namun, Indonesia sudah melakukan sejumlah upaya yang signifikan dalam melakukan pemberantasan," kata CdBaca.

Sedangkan Wahyu Susilo, pengurus lembaga swadaya masyarakat pejuang hak-hak pekerja migran, Migrant Care, menilai bahwa performa Indonesia dalam kampanye pemberantasan perdagangan manusia sebenarnya sudah satu level lebih baik ketimbang Malaysia, yang masuk dalam katagori Tier-3.

"Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia tidak pernah beranjak dari kelompok Tier-2. Ini artinya belum ada kemajuan signifikan yang dilakukan oleh Indonesia kendati sudah ada sejumlah upaya hukum dalam memberantas perdagangan manusia," ujar Susilo.

Merujuk Laporan Tahunan Deplu, CdBaca menyoroti adanya persekongkolan antara para Perusahaan Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) dengan oknum Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta petugas imigrasi dalam merekayasa dokumen bagi para calon tenaga kerja yang masih di bawah umur atau yang belum memenuhi syarat.

Para calon tenaga kerja ini, yang sebagian besar perempuan, akhirnya bisa lolos ke luar negeri sebagai korban perdagangan manusia. Mereka ada yang ditipu dengan diimingi kerja yang layak namun harus menjadi pelacur atau ada yang terpaksa bekerja di luar negeri karena terjerat utang yang menimpa keluarganya.

"Sejumlah staf Depnakertrans dilaporkan memberi lisensi dan melindungi agen perekrut tenaga kerja internasional yang terlibat dalam perdagangan manusia. Demi mendapatkan suap, petugas imigrasi sengaja acuh tak acuh atas adanya korban perdagangan manusia. Ada juga yang menerima suap dari PJTKI untuk meloloskan pekerja migran kepada para agen di Bandara Internasional Jakarta," demikian kata CdBaca mengutip laporan dari Deplu.

Laporan Deplu AS juga mengakui berbagai upaya yang telah dilakukan Indonesia dalam mengatasi perdagangan manusia dan melindungi para korban. Selain membentuk undang-undang anti perdagangan manusia tahun 2007, yang menghukum penjara antara 3 sampai 15 tahun bagi para pelaku, Indonesia juga telah membentuk gugus tugas di kepolisian khusus anti perdagangan manusia.

Selain itu, Polri juga telah mengerahkan sejumlah petugas penghubung di sejumlah Kedutaan Besar Indonesia, yaitu di Arab Saudi, Malaysia, Australia, Filipina, dan Thailand. Mereka bekerja sama dengan aparat hukum setempat untuk mencegah dan menyelidiki kasus perdagangan manusia dari Indonesia.

Polisi juga mengadakan "Operasi Bunga" sepanjang tahun 2008 di 11 provinsi untuk mencegah adanya perempuan dan anak-anak sebagai korban perdagangan. Namun, kinerja polisi masih dianggap belum maksimal dalam memerangi perdagangan manusia, terutama dalam memantau di daerah-daerah.

Menurut Susilo, gugus tugas yang dibentuk Polri masih lemah. "Dengan hanya beranggotakan 21 orang, masih sulit bagi polisi untuk mendeteksi tempat-tempat transaksi perdagangan manusia dan melakukan kampanye anti perdagangan manusia di banyak tempat," kata Susilo.

Gugus tugas yang berbasis di Jakarta itu bekerja sama dengan kepolisian daerah, Depnakertrans, Badan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Imigrasi, Deplu, dan sejumlah NGO untuk menutup sejumlah organisasi perdagangan manusia.

Sebelum mengadakan diskusi panel, Duta Besar AS, Cameron Hume, memberikan penghargaan kepada Elly Anita, perempuan Indonesia yang lolos dari praktik perdagangan manusia di Irak.

Dia termasuk satu dari sembilan orang dari penjuru dunia yang diberi gelar pahlawan anti perdagangan manusia oleh pemerintah AS. Anita kini bekerja di Migrant Care membantu menyelamatkan warga Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia.(vivanews)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner