Pancaran Spiritual Ubud

Ubud menyimpan banyak kisah tentang ”pelarian”. Kota ”pedesaan” yang berada di kawasan Bali tengah ini banyak diyakini memiliki pancaran spiritual yang mampu membangkitkan daya hidup.

Dalam buku Eat, Pray, Love, Elizabeth Gilbert menuliskan kesannya yang mendalam terhadap Ubud. Ia yang gelisah dengan kehidupan di tengah belantara beton kota New York kemudian menemukan jati dirinya di Ubud.

Perceraian membuat Elizabeth terperangkap dalam lingkaran kesedihan. Ia lalu meninggalkan karier dan semua yang dimilikinya untuk memulai perjalanan mencari jati diri. Tiga negara disinggahinya: Italia, India, dan Indonesia (Ubud). Di Italia, Elizabeth mendapatkan kesenangan duniawi dengan mengencani beberapa lelaki. Di India, ia mendapatkan jalan surgawi dengan meditasi keras dan penuh disiplin di ashram.

Namun, di Ubud, Elizabeth bisa menikmati keduanya. Ia menemukan keseimbangan duniawi dan surgawi. Ia tetap rajin berlatih meditasi, sebagaimana diajarkan Ketut Liyer, seorang penyembuh di Ubud untuk bermeditasi sambil tersenyum. Ia juga memiliki banyak sahabat orang Ubud yang masih teguh memegang tradisi. Setelah tersembuhkan, Elizabeth pulang ke New York. Kisahnya difilmkan dengan judul sama, dengan pemeran utama Julia Roberts.

Jauh sebelum Elizabeth menceritakan perjalanan spiritualnya di Ubud, kota berpenduduk 12.000 jiwa ini sudah lama menyimpan kisah ”pelarian” para pendatang dari luar negeri, bahkan belakangan banyak dari kota super-ruwet seperti Jakarta.

Noviana Kusumawardhani (43), seorang creative director di sebuah perusahaan iklan besar di Jakarta, rela meninggalkan kariernya untuk ”terlahir kembali” di Ubud. Novi yang terluka jiwanya akibat perselingkuhan suaminya hanya dalam hitungan jam memutuskan pindah ke Ubud. Dalam keadaan bangkrut, harta habis untuk mengurus sidang perwalian anak, Novi memulai hidup baru di Ubud sekitar tiga tahun lalu.

”Saya seperti terpanggil untuk memulihkan diri di Ubud. Saya datang ke Ubud hanya dengan niat yang kuat,” kata Novi yang kini berprofesi sebagai penulis dan pembaca kartu tarot. Di kota kecil itu Novi merasa ”disembuhkan” oleh suasana alam Ubud yang tenang dan damai, pepohonan nan rimbun, sawah yang menghijau, semilir angin, serta bantuan seorang penyembuh dari Desa Batubulan.

Sejak 1904 Ubud sudah dikunjungi seniman Belanda, Nieuwenkamp. Pada akhir 1920-an datang dua seniman Eropa, Walter Spies (Jerman) dan Rudolf Bonnet (Belanda), menetap di Ubud. Bersama Tjokorda Gde Agung Sukawati, mereka mendirikan perkumpulan pelukis Pita Maha.

Lantaran tak bisa lepas dari pesona Ubud, Bonnet bahkan mewasiatkan agar jenazahnya diaben sebagaimana orang Bali pada umumnya. ”Karena meninggal di Belanda tahun 1978, abu jenazahnya dikirim lewat pos ke Ubud. Akhirnya dia diaben bersamaan dengan Tjokorda Gde Agung Sukawati,” kata budayawan Pande Sutedja Neka, yang bersentuhan langsung dengan Bonnet.

Saksi hidup gelombang kehadiran para pencinta Ubud adalah Arie Smit (94), pelukis berdarah Belanda, yang mengajarkan anak-anak Penestanan melukis bergaya young artist. ”Smit menjadi WNI untuk menunjukkan betapa cintanya kepada Bali, khususnya Ubud,” kata Neka.

Ketenangan

Sekilas Ubud tidak jauh berbeda dengan tempat wisata lain di Pulau Bali. Di pusat kota kecamatan ini, yang terpusat di Jalan Monkey Forest, Hanoman, Dewi Sita, dan Jalan Raya Pengosekan, jalan-jalan sempit diwarnai beragam fasilitas untuk turis. Namun, Ubud jauh dari hiruk-pikuk tempat wisata. Siang, sore, atau malam hari tidak terdengar dentuman musik dari kafe atau bar. Tamu yang datang ke tempat minum itu lebih sering dihibur dengan musik tradisional Bali, musik-musik bernada pelan atau senyap sama sekali.

Kegiatan di Ubud juga dibatasi hingga pukul 22.30. Menjelang tengah malam itu tidak ada satu pun toko, warung, rumah makan, kafe, dan lain-lain yang masih membuka gerainya. Jalan di seputar Ubud pun menjadi lengang. Ubud seperti kembali menjadi ”desa” yang jauh dari hiruk-pikuk aktivitas turis.

Suasana tenang ditambah kehidupan masyarakat yang masih teguh memegang tradisi menjadi daya tarik bagi mereka yang menjalani laku spiritual. Suasana ini dianggap mendukung getaran positif yang datang dari alam.

Menurut spiritualis Gede Prama, jutaan orang dari penjuru dunia datang ke Ubud sejak tahun 1930 karena Ubud menawarkan lebih dari sekadar pemandangan alam. Ubud memiliki terma atau ajaran spiritual yang disembunyikan di alam. Bila terma ini dibuka, orang akan bisa ”membaca” atau menyerap aura spiritual ini. Nama Ubud sendiri berasal dari kata ”ubad”, bahasa Bali yang artinya obat.

AwaHoshi (59) merasakan jiwanya sangat dekat dengan Ubud meski ia berasal dari Honolulu, AS. Perempuan ini percaya bahwa pada kehidupan masa lalunya ia pernah tinggal di Ubud. Alasan itu pula yang membuat ia pindah ke Ubud pada tahun 1992.

Dari sekian banyak tempat di dunia yang pernah ia datangi, AwaHoshi menemukan banyak cinta di Ubud. Etos gotong royong masyarakat Ubud, di mata AwaHoshi, juga merupakan bentuk kecintaan terhadap sesama. Kecintaan itulah melahirkan getaran positif yang ditangkap instrumen mangkuk kristal AwaHoshi. AwaHoshi memainkan instrumen mangkuk kristalnya di alam terbuka, seperti di ladang jagung, areal persawahan, pinggir pantai, atau tepi jurang. Di Ubud mereka datang dan tersembuhkan. (kompas)

1 komentar:

Comment

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner