Sejarah Jakarta.."Kampung Tua".. [Pic]

Menyusuri Jakarta Kampung Tua

Tak cukup sehari menyelusuri sisa-sisa Kampung Tua di Jakarta Kota. Disana dibekas pembantaian masal terdapat satu meja sembahyang. Ada 8 Teko Teh di bekas rumah tua milik saudagar Cina. Glodok yag sekarang menjadi wilayah bisnis ternyata dulu merupakan ruang isolasi warga Cina. Upaya Museum Sejarah Jakarta menjadi pusat informasi sejarah perkembangan kota dan budaya masyarakat Jakarta sulit direalisir.

Terlebih bila menyangkut masa prasejarah masa kini dalam bentuk yg edukatif dan rekreatif, agak kerepotan. Betapa tidak, Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia memiliki sejarah yg sangat panjang. Betapa pun usaha maksimal telah diupayakan oleh Museum Sejarah Jakarta untuk mengumpulkan informasi tentang sejarah Jakarta, namun ada saja bagian dari sejarah Jakarta yg belum dapat ditampilkan serta diinformasikan secara maksimal kepada pengunjung museum.

Sejarah kota Jakarta diperkirakan dimulai sekitar 3500 SM, diawali dengan terbentuknya pemukiman sejarah di sepanjang daerah aliran sungai Ciliwung. Seiring dengan perjalanan sejarah, maka berbagai kampung tumbuh di sepanjang aliran sungai itu. Kampung2 ini ada yg bertahan sampai sekarang yang di sebut Kampung Tua. Diantaranya adalah Kampung Bandan, Kampung Orang Cina (Pecinan), Kampung Luar Batang, Kampung Pekojan, Kampung Angke, Kampung Kebon Jeruk dan masih banyak lagi.

Kampung-kampung ini telah banyak mengalami perubahan karena termakan waktu, kendati letak dan sisanya masih bisa disaksikan di era pembangunan. Keberadaan kampung tua dan bangunan-bangunan bersejarah yang terletak di kampung-kampung tersebut justru merupakan kelebihan yang dimiliki kota Jakarta. Walaupun Jakarta tidak memiliki keindahan alamiah. Semisal Hongkong dengan peak-nya atau lalu lalang kapal di pelabuhan, atau istana-istana berlapis emas di Bangkok. Selain juga tidak memiliki daerah hijau di sekitar waduk-waduk air bersih di tengah-tengah kota seperti di Singapura.

Tetapi Jakarta memiliki kampung-kampung tua beserta bangunan-bangunan tua yg ada di wilayah tersebut. Merupakan aset bernilai tinggi di wilayah Jakarta Kota. Museum Sejarah Jakarta (MSJ) berusaha menginformasikan sejarah kota Jakarta secara lengkap. Termasuk keberadaan kampung-kampung tua bersejarah ini. Namun karena keterbatasan ruang pamer dan koleksi yg dimiliki, maka sejak tahun 2002 MSJ mengadakan terobosan dengan mengajak masyarakat langsung berkunjung ke kampung-kampung tua tersebut. Kebetulan sebagian dari kampung-kampung tua itu terletak di Kawasan Kota Tua di sekitar MSJ.

Kegiatan yg pada awalnya disebut Wisata Kampung Tua, dan kini dinamakan Kunjungan Kampung-Kampung Bersejarah ini, sengaja dirancang untuk dapat dinikmati oleh untuk semua lapisan masyarakat lokal maupun mancanegara. Wisata dilakukan dengan berjalan kaki, agar peserta dapat langsung merasakan denyut kehidupan di kampung-kampung tua tersebut sambil menikmati keindahan arsitektur dari bangunan-bangunan bersejarah yg terdapat didalamnya.

glodokGlodok Sebagai Ruang Isolasi Warga China  


Sejarah menunjukan, Glodok yg kini menjadi pusat bisnis diperkotaan ternyata bekas ruang isolasi kaum Cina. Sejak zaman sebelum Gubernur Jenderal Jan Pieter Zoon Coen berkuasa, Glodok sudah didiami oleh orang Tionghoa. Namun, setelah terjadinya pemberontakan laum Tionghoa pada tahun 1740, barulah Glodok menjadi pusat perkampungan mereka. Sesudah pemberontakan itu ditumpas oleh kompeni, mereka tidak diperbolehkan lagi tinggal di dalam tembok kota.

Glodok adalah perkampungan yang ditunjuk oleh kompeni sebagai kampung mereka. Sejak itulah, Glodok berubah sebagai Pecinan dan sebagai pusat perdagangan.

Ruko Tionghoa

Sebagai pecinan, tentu saja Glodok banyak dihuni warga Tionghoa. Kebanyakan selain yg tinggal di kampung sekelilingnya, warga Tionghoa bersama keluarganya bermukim di bagian lantai atas. Sedangkan di ruang bawah menjadi ruang usaha. Benarlah bahwa Ruko (Rumah Toko) yg kini bertebaran di berbagai tempat merupakan gaya hidup orang Tionghoa yg tidak suka hidup boros. Tapi, sejak beberapa waktu yg lalu sebagian dari mereka sudah meninggalkan Ruko dan memilih tinggal di perumahan real estate yg terdapat di lima wilayah kota Jakarta.

Sekitar 265 orang peserta kegiatan kunjungan kampung-kampung bersejarah yang di berangkatkan dari MSJ dengan berjalan kaki melewati jalan Kali Besar menuju jalan Patekoan (Perniagaan). Konon nama Patekoan artinya delapan buah teko/poci. Di masa Gan Djie menjabat sebagai Kapitein Cina, ia tinggal di wilayah yg sekarang bernama Patekoan ini. Kapitein Gan dan istrinya berjiwa sosial, sehingga mereka sengaja menyediakan 8 buah teko (poci) berisi teh. Angka delapan sengaja dipilih sebab mempunyai konotasi baik dalam Kebudayaan Tionghoa.

Mereka yg tengah kehausan di perjalanan dipersilahkan minum air teh yg disediakan oleh Kapitein Gan itu. Pada waktu itu di daerah tersebut belum banyak yg berjualan makanan dan minuman seperti sekarang. Sehingga air teh ini sangat menolong orang yg kehausan dalam perjalanan. Akhirnya jalan tersebut dinamakan Patekoan.

Rumah Keluarga Souw

Diantara beberapa gedung tua berarsitektur Tionghoa kuno di Jakarta Kota yg belum dihancurkan seperti di jalan. Patekoan adalah bekas rumah keluarga saudagar Souw. Salah satu dari anggota keluarga ini yang terkenal adalah kakak-beradik Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw Keng. Kakek buyut mereka adalah Luitenant der Chineezen Souw Kong Seng (1766-1821) dan ayah mereka adalah Luitenant der Chineezen Souw Thian Pie. Souw Siauw Tjong adalah salah seorang terkaya di Batavia pada masa itu. Ia memiliki tanah luas di Paroeng Kuda, Kedawung Wetan dan Ketapang di wilayah Tangerang Banten. Selain kaya-raya, ia berjiwa sosial. Mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-anak bumiputera di tanah miliknya, memelihara orang-orang miskin dan menyumbangkan makanan dan bahan-bahan bangunan pada waktu terjadi kebakaran di daerah sekitar tempat tinggalnya.

Rumah keluarga Souw ini sampai sekarang masih terawat dengan baik dan masih didiami oleh keturunan dari Souw Siauw Tjong. Di tahun 50-an di kampung Blandongan Jakarta Kota di ditemui seorang warga keturunan China yg memiliki jiwa sosial. Bernama Pah Wong So (atau Wong Souw?). Ia membuka semacam rumah singgah/rumah yatim piatu untuk orang-orang miskin, gelandangan dan kaum dhuafa lainnya. Mereka dipelihara, diberi makan dan pakaian seragam. Dan dididik sesuai keahliannya. Semisal jadi tukang gunting rambut, penjahit pakaian, sol sepatu atau apa saja berkaitan dengan ekonomi. Mereka juga disalurkan kepada majikan yang membutuhkan tenaga. Seperti pembantu rumah tangga, tukang cuci, tukang masak di rumah makan dll.

Mungkinkah Pah Wong So masih keturunan saudagar Cina yg berjiwa sosial? Masih jadi pertanyaan. Sejarah terus bergulir, tapi rumah keluarga Souw masih dipertahankan keasliannya, termasuk arsitekturnya yg indah. Sedangkan gedung SMUN 19, yg merupakan bekas Gedung THHK. Juga punya menyimpan sejarah yg unik. Lukman, Kepala SMUN 19, berkisah bahwa sekolah ini juga menyimpan sejarah. Di tempat inilah mula pertama berdiri suatu organisasi modern di kota Batavia (Jakarta Kota).

klenteng_hong_san_bioKelenteng Hong San Bio (Toa Sai Bio)

Kelenteng ini dinamakan Toa Sai Bio karena dewata yg dipuja di kelenteng ini dikenal sebagai Toa Sai Kong atau Paduka Duta Besar, dan belakangan berubah menjadi Toa Sebio. Nama Toa Sebio ini sampai sekarang masih dipakai di kalangan penduduk lama Jakarta, walau nama jalannya telah diganti menjadi Kemenangan III. Kelenteng ini dibangun oleh orang Hokian dari kabupaten Chang Tai Keresidenan Zhangzhou, propinsi Fujian dan dipersembahkan kepada dewata dari aliran Daoisme Cheng-goan Cin-kun.Yg menarik disini ada sebuat tempat hio (hio louw) yg terletak di ruang utama kelenteng ini. Hio Louw ini berangkat tahun 1751 dan memiliki ukiran yg sangat indah. Puas melihat keindahan kelenteng serta mengamati kegiatan di kelenteng ini peserta meneruskan perjalanan ke Kelenteng Jin DeYuan.

Tragedi Pembantaian Angke

Kelenteng Jin De Yuan yg terletak di Jl. Kemenangan III merupakan salah satu kelenteng tertua di Jakarta Kota.. Didirikan tahun 1850 oleh Letnan Kwee Hoen dan diberi nama Koan-Im Teng. Kelenteng ini dipersembahkan kepada Dewi Koan-Im (Dewi Welas Asih). Konon dari kata Koan Im Teng inilah kemudian timbul istilah kelenteng yg berarti "kuil Tionghoa". Kelenteng ini merupakan salah satu dari empat kelenteng besar yg berada di bawah pengelolaan Kong Koan atau Dewan Tionghoa. Keempat kelenteng itu adalah Kelenteng Goenoeng Sari, Kelenteng Toa Peh Kong (di Ancol), Kelenteng Jin Deyuan sendiri serta kelenteng Hian Thian Shang Te Bio di Tanah Tandjoeng (sekarang sudah musnah).

Tahun 1740 kelenteng ini turut dirusak dalam peristiwa pembantaian terbesar etnis Tionghoa dalam sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Peristiwa yg terjadi tanggal 9-12 Oktober 1740 dan menelan korban 10.000 jiwa inilah yg kemudian dikenal sebagai Tragedi Pembantaian Angke. Hanya sebuah meja sembahyang berangka tahun 1724 yg tersisa dari peristiwa pambakaran kelenteng ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner